Batman Begins - Help Select

Translate

Minggu, 01 September 2013

Kurikulum Pendidikan Haruslah Memberi Tantangan bagi Siswa

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud  1
Kurikulum Pendidikan  Haruslah Memberi Tantangan bagi Siswa

Oleh Prof. Suyanto, Ph.D



Para ilmuwan tanpa mengenal lelah telah meneliti berbagai faktor penting
yang berkontribusi pada kesuksesan hidup. Mereka tertarik mencari faktor
penentu yang secara signifikan bisa digunakan untuk memprediksi sukses
kehidupan.

Dari penelitian itu ditemukanlah faktor-faktor penting yang ikut menyumbang
kesuksesan seseorang. Faktor-faktor penentu sukses itu akhirnya
diterjemahkan oleh para ahli pendidikan ke dalam kurikulum dan program
pembelajaran.

Pendek kata, dengan ditemukannya faktor penentu sukses itu, dunia
pendidikan juga ikut berlomba-lomba dan berkontemplasi untuk merumuskan
filosofi, paradigma, strategi, dan metodologi pembelajaran. Pada gilirannya,
rumusan itu digunakan untuk mengonstruksi kurikulum yang mampu memberi
bekal ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik untuk mendaki kesuksesan
hidup.

Faktor signifikan yang telah mendapat perhatian luas untuk memprediksi
sukses seseorang, antara lain intelligence quotient (IQ, kecerdasan otak) dan
emotional quotient (EQ, kecerdasan emosional). Kecerdasan yang disebut
terakhir, oleh penemunya, Daniel Goleman (1995), diberi nama  emotional
intelligence, bukan emotional quotient.

Kelahiran EQ membuat arah baru pendidikan secara luas. Sebab, dalam
banyak penelitian terbukti IQ tak lagi menjadi satu-satunya prediktor sukses
peserta didik di masa datang.

Sebelum muncul EQ, IQ-lah yang didewa-dewakan dunia pendidikan untuk
mempermudah pekerjaan pembelajaran dalam memberi bekal atau virus
sukses peserta didik atau bahkan mahasiswa sekalipun. Implikasinya,
pengembangan kurikulum hampir di seluruh dunia pada era jayanya IQ selalu
berorientasi pada upaya bagaimana mengemas program pembelajaran yang
bisa memberikan kecerdasan  otak secara maksimal kepada para peserta
didik.

Setelah EQ ditemukan oleh Goleman, kurikulum serta-merta harus dan
mutlak memperhatikan faktor-faktor non-kognitif, seperti kecerdasan sosial,
kecerdasan spiritual, pengendalian emosi, dan memahami emosi orang lain.
Bahkan, Goleman mengklaim IQ hanya berkontribusi 20 persen terhadap
kesuksesan peserta didik setelah mereka hidup dalam masyarakat nantinya. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud  2
Ternyata 80 persen justru ditentukan oleh faktor lain di luar IQ, di mana EQ
masuk di dalamnya secara signifikan.

Oleh karena itu, jika suatu bangsa ingin membuat kurikulum yang bisa
mengantarkan para peserta didik jadi orang sukses, kurikulum itu juga harus
memberikan menu belajar yang mencakup aspek lain selain kecerdasan,
seperti sikap, perilaku, kepribadian, keberagamaan, budi pekerti, dan
kecerdasan otot (muscle memory).

Bahkan, praksis pendidikan di Jepang memasukkan aspek memori dan
kecerdasan otot dalam kurikulumnya sejak kelas I dan II SD melalui aktivitas
otot (keterampilan) dalam bentuk kegiatan origami secara intensif. Origami
mampu menanamkan kepada para siswa sifat dan sikap kreatif, inovatif,
sekaligus membangun kecerdasan/ingatan otot para siswa.


 ”Adversity Quotient”
Sudah lengkapkah prediktor kesuksesan yang bisa dikemas dalam kurikulum
setelah adanya penemuan IQ, EQ—juga spiritual intelligent (SQ, kecerdasan
spritual), dan kecerdasan otot? Ternyata belum! Dunia ilmu pengetahuan
tetap melakukan penelitian untuk membuat prediktor kesuksesan memiliki
daya prediksi yang makin robust, semakin kecil kesalahannya sampai
mencapai derajat kepercayaan 99 persen. Atau tingkat koefisien alpha 0,01
jika kita meminjam terminologi uji signifikansi statistik inferensial. Prediktor
baru itu adalah adversity quotient (AQ).

Dua tahun setelah Daniel Goleman menemukan EQ, muncullah AQ yang
ditemukan oleh Paul Stoltz (1997). Aplikasi AQ dalam proses pendidikan
memang belum seluas aplikasi EQ dan SQ. Saat ini, AQ banyak diaplikasikan
dalam perusahaan besar untuk kepentingan rekrutmen dan pelatihan
pegawainya.

Dunia pendidikan juga harus memanfaatkan temuan Paul Stoltz ini. Mengapa
demikian? Karena AQ pada hakikatnya merupakan kapasitas seseorang
untuk menghadapi berbagai bentuk tekanan dan ketidaknyamanan hidup
dalam situasi tertentu.

Orang yang AQ-nya tinggi akan tahan banting, dalam arti fisik, mental, dan
kejernihan berpikir. Lebih penting lagi, ia segera bisa kembali ke keadaan
normal setelah berhadapan dengan berbagai tekanan dan tantangan.
Sebaliknya, orang yang AQ rendah akan selalu menyalahkan lingkungan
ketika dia gagal sehingga dia tidak dapat mengambil keputusan untuk menuju
sukses. Bidang keilmuan AQ ditopang tiga pilar utama:
psychoneuroimmunology, neuropsychology, dan cognitive psychology.

Orang hidup tak ada yang bebas dari tekanan dan tantangan. Dokter punya
tekanan saat di meja operasi, wartawan memiliki tekanan dan tantangan
ketika harus menghadapi tenggat berita, menteri dan presiden selalu
menghadapi tekanan dari ekspektasi masyarakat. Siswa pun selalu
menghadapi tekanan dan tantangan ketika harus belajar materi baru yang Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud  3
jauh lebih sulit, datang dan pulang tepat waktu, dan menyerahkan tugas
individu serta kelompok. Kalau semua tekanan itu berhasil dilewati, sukseslah
mereka. Kalau gagal, akan reduplah suasana hati dan pikiran saat itu.


Hidup adalah Tantangan
Oleh sebab itu, kapasitas untuk bisa menghadapi berbagai tekanan harus
diajarkan dan dilatih sejak mereka duduk di bangku sekolah. Siswa perlu
mengalami sendiri berbagai prosedur serta proses ilmu dan pengetahuan.
Kerena itu, kegiatan mengamati, bertanya, menalar, bereksperimentasi, juga
pengalaman membangun jejaring perlu diakomodasikan dalam sebuah
kurikulum.

Dengan cara seperti itu, siswa akan bisa merespons berbagai kemungkinan
dan tekanan hidupnya kelak setelah hidup dalam masyarakat. Respons positif
terhadap tekanan yang dihadapi siswa akan memberi jalan kepada
kesuksesan hidup kelak.

Belajar tidak cukup hanya yang bersifat menyenangkan, tetapi juga harus
menantang bagi siswa kita. Mengapa begitu? Karena hidup identik dengan
tantangan.

Kurikulum dan proses pembelajaran perlu memberi tempat yang cukup agar
siswa bisa melakukan observasi, analisis, hipotesis, sintesis, dan mencari
solusi terhadap tantangan yang dihadapi dalam proses belajarnya. Sebab,
pada saatnya nanti, meminjam konsepnya Jerome Brunne, para siswa akan
melakukan apa yang disebutnya  transfer of learning and principles dalam
kehidupan nyata.

Jadi, belajar tidak cukup dengan pendekatan yang menyenangkan semata.
Selebihnya, harus menantang agar siswa bisa berlatih untuk membangun
AQ-nya. Semoga begitu.




Prof. Suyanto, Ph.D
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta
(Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud








Tulisan ini dimuat di Harian KOMPAS, 15 Februari 2013

 

 
Design by Hamuri Jaka Ariyanto | Bloggerized by Hamuri Jaka Ariyanto - Premium Blogger Themes | SEO Premium Themes